Konflik
dayak dan Madura
Nama: Alvin wibianto p
NPM:10315588
KELAS:1TA07
A.Latar Belakang
Kehidupan ini selalu
menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalamkehidupan menunjukkan bahwa
dunia dari kehidupan di dalamnya masih pada kondisinormal. Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi
beranekamacam tumbuhan dan
bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik
sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika
bisadihargai oleh setiap kelompok yang ada .Keberagaman atau pluralitas dalam dialektikakehidupan beragama tentu
sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteroponglebih dekat lagi.
Terdapat sejumlah
persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggungan dengan pluralitas
social, dari mulai politik, adat, dan ekonomiKrisis
jati diri bangsa yang paling mencekam muncul dalam sikap antipluralisme dikelangan sekelompok anak bangsa. Sebagian besar
masyarakat, terutama kelompok-kelompok dominan, masih tidak memahami
prinsip-prinsip pluralism dan multikulturalisme(M Dawan Rahardjo, 2010). Mereka bahkan curiga dan mearasa menghadapi
ancaman.Padahal, justru kecurigaan dan kekhawatiran inilah yang
menimbulkan konflik dan aksi-aksikekerasan yang cukup marak di Indonesia
akhir-akhir ini.Melihat beberapa kejadian
belakangan yang timbul di tanah air, maka perlumengangkat kembali pemahaman terhadap pluralism Indonesia sebagai satu
kesatuan danmerupakan asset bangsa yang berperan besar dalam proses pembangunan
dan pencapaiantujuan dan cita-cita bangsa.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian Pluralisme
Secara terminologis, ”plural” adalah
bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan
pluralisme ialah keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem
sosial dan politik). Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak
arti, tetapi pada dasarnyamemiliki kesamaan makna. Sebagian ada yang mengatakan
bahwa pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan
manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan
agama saja. Jadi, menurut pengertian ini, pluralisme mengakui
perbedaan-perbedaan sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja.
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana
ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling
menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi)
serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Sebenarnya berbicara tentang
konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep kemajemukan
atau keberagaman, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri
bahwa pluralisme itu merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan disini dapat berarti
kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Namun yang sering menjadi issu
terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme
ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu
mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah
pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme-lah bangsa Indonesia yang beraneka
ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang
satu dan utuh.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham
yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan
lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk
melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu
munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal,
serta penindasan atasnamaagama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah factor:
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah factor:
•Pertama
adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan. Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan. Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
•Kedua
faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
B.
Konflik Ambon dan Patologi Sosial
Jakarta Ledakan konflik horizontal
yang bernuansa suku, agama, ras dan golongan (SARA) yang terjadi di Ambon pada
Ahad (11/9) yang lalu, adalah tanda bahwa Indonesia sangat rentan terhadap
potensi konflik. Sebagai negara yang plural, maka kita harus antisipatif dalam
membaca dan menalar koflik sebagai problem serius dan harus diselesaikan secara
komprehensif.
Konflik memiliki definisi beragam karena
beragamnya latar belakang dan perspektif. Tapi pada dasarnya, ada satu kata
yang menjadi kesimpulan bersama para ahli tetang definisi konflik. Yaitu
disebabkan karena terjadi disharmoni diantara elemen-elemen yang ada, baik dalam
skala individu maupun kelompok.
Newstorm dan Davis (1977), melihat konflik
sebagai warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara terus menerus. Dari
perspektif behavioural, Muchlas (1999) menyebut konflik sebagai akibat dari
terjadinya minteraktif individu atau kelompok sosial. Di Indonesia, konflik
memiliki sejarah yang panjang. Sebagai negeri multikultural ini, setiap rezim
pemerintahan di negeri ini memliki satu tugas yang sama yaitu menciptakan
harmonisasi akibat seringnya terjadi konflik dengan berbagai latar belakang.
Dilihat dari strukturnya, ada dua konflik
yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal biasanya
bersifat elitis dan politis. Sedang konflik horizontal lebih pada latar
belakang suku, agama, ras dan golongan (SARA), budaya dan ekonomi. Masa yang
paling kelam dalam sejarah panjang konflik di Indonesia, terjadi pasca Reformasi
tahun 1998. Terjadi ledakan konflik horizontal bernuansa SARA, diantaranya
konflik Poso, konflik Ambon, konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Serta konflik
vertikal GAM hingga tahun 2005. Energi pemerintah mau tidak mau harus
dikerahkan untuk meredam konflik hingga recovery pasca konflik.
Tak dapat dinafikan, jika konflik
mempengaruhi NKRI secara keseluruhan. Baik kerugian sosial yang menjadi rentan
akibat mudahnya masyarakat tersulut provokasi, maupun kerugian ekonomi karena
sumber dana untuk menyelesaikan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut.
Seiring perjalanan kehidupan, sejarah konflik berkembang dengan motif beragam.
Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai
"penyakit peradaban". Fritjof Chapra membaca patologi sosial ini,
sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan.
Menurut sejarawan Arnold Toynbee
sebagaimana dikutif oleh Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi
sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya,
mencari titik equilibrum.
Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas
di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya.
Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak
lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas
ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya
perpecahan dan kekacauan sosial.
Di sisi lain, globalisasi yang terjadi
begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shock budaya. Arus informasi yang
menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru dalam diri
bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya
polarisasi nilai-nilai luhur dan kearifan budaya lokal yang terkontaminasi oleh
budaya asing. Friksi sosial budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok
masyarakat (masyarakat konservatif dan masyarakat akomodatif tanpa reserve)
tidak rukun. Sehingga disharmoni tersebut menjadi bom waktu bagi negara dengan
masyarakat yang plural seperti Indonesia. Pancasila sebagai dasar kehidupan dan
ciri budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai
luhur dan pluralitas yang terkandung dalalm Pancasila, dapat merekatkan
masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik. Oleh
karenanya, membaca tafsir dan membumikan kembali dasar dan ideologi negara
(Pancasila) menjadi salah satu solusi atas konflik sosial yang sering terjadi.
Selain itu, konflik politik yang hari-hari
ini justru bergeser pada elit bangsa akibat tarik menarik kepentingan
pragmatis, menjadi tugas berat yang harus diakhiri. Karena elit bangsa adalah
panutan masyarakat. Sehingga penulis memandang, bahwa sangat mendesak untuk
terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai Pancasila pada para pemimpin bangsa.
Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk mengeliminir elit yang egois dan lebih
mementingkan diri dan kelompoknya. Baik secara kolektif melalui pengawasan,
maupun seleksi secara individu saat pemilihan umum.
Pemerintah juga perlu mendorong pemerataan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang sering dibangga-banggakan itu, jangan
hanya menjadi milik golongan tertentu atau dilakukan pada wilayah tertentu
saja. Karena yang kita saksikan, konflik sosial-horizontal sering kali terjadi
di wilayah yang mengalami kesenjangan sosial-ekonomi.Masyarakat harus diangkat
strata kesejahteraannya, melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan
seluas-luas dan seadil-adilnya. Karena pengangguran dan kemiskinan adalah
stimulus yang efektif memicu konflik.
Dari sisi psikologi sosial, konflik
merupakan produk dari sikap emosional. Maka kedewasaan dan rasionalitas
menyikapi berbagai upaya untuk memperkeruh keadaan menjadi fundamen yang urgen.
Bahwa konflik hanya akan membawa kerugain bagi semua fihak. Maka damailah
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara terminologis, ”plural” adalah
bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan
pluralisme ialah keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem
sosial dan politik). Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak
arti, tetapi pada dasarnyamemiliki kesamaan makna. Sebagian ada yang mengatakan
bahwa pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan
manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan
agama saja.
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana
ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling
menghormati dan toleransi satu sama lain.
B. SARAN
1. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
berbagai suku, etnis, dan agama, oleh karena itu pluralisme sangat
diperlukan.
2. Dalam Hal Ini Pmemerintah Harus
Lebih Fokus Untuk Menyelesaikan Berbagai Konflik, Baik Pemerintah Pusat Atau
Setempat. Dan Mencari Solusi Agar Masalah Dapat Terselesaikan.
3. Dari Segi Lain seperti tokoh-tokoh
agama pun harus perihatin terhadap konflik yang terjadi, karena konflik
tersebut pasti menyangkut teentang perbedaan keyakinan dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alister E. Mcgrath, 'Christian Theology: an
Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). pp 458-459; Coser, Lewis, The Function of Social Conflict,
(New York: Free Press, 1965). Coser, Lewis, The Function of Social
Conflict, (New York: Free Press, 1965).
Coward, Harold, Pluralisme,
Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
Blattberg,
Charles. Oxford From Pluralist to Patriotic Politics: Putting Practice First,
University Press, 2000.
Ethics: A
Pluralistic Approach to Moral Theory, 2nd ed, Lawrence M. Hinman, Harcourt Brace,
1998.The Open Society and its Enemies, Karl Popper, Routledge, 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar